Minggu, 24 Juni 2007

KESEHATAN

KONSEP DASAR MEDIS
KEJANG DEMAM SEDERHANA

oleh ; RANTY DS, UNDIP

Kejang demam sederhana adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu porses ekstrakranial. Derajat tingginya suhu dianggap cukup untuk mendiagnosis kejang demam ialah 380 C atau lebih (Lumbantobing, 1995).
KLASIFIKASI
Livingstone (1970) membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu;
Kejang demam sederhana
Ciri-cirinya:
a. Kejang bersifat umum
b. Waktu singkat (kurang dari 15 menit)
c. Umur serangan pertama kurang dari 6 tahun
d. Frekuensi serangan 1-4 kali pertahun
e. EEG normal
Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
Ciri-cirinya:
f. Kejang lama dan bersifat fokal
g. Umur lebih dari 6 tahun
h. Frekuensi serangan lebih dari 4 kali pertahun
i. EEG setelah pasien tidak demam, abnormal
Sejak tahun 1995, pembagian golongan kejang demam yang digunakan di sub-bagian syaraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UI terdiri atas 3 jenis kejang demam, yaitu:
Kejang demam kompleks
Kejang demam yang lebih dari 15 menit, fokal atau multipel (lebih dari 1kali kejang per episode demam)

Kejang demam sederhana
Kejang demam yang bukan kejang demam kompleks
Kejang demam berulang
Kejang demm yang timbul pada lebih dari satu episode demam (Soetomenggolo, 1995).

Presipitasi
Menurut S.M Lumbantobing (1995), penyebab kejang demam antara lain demam.
Predisposisi
- Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
- Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
- Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Ensefalitas viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas.














Patofisiologi
Etiologi


Demam


Setiap kenaikan suhu 10C


Metabolisme basal Kebutuhan O2 meningkat 2
meningkat10-15%

Sirkulasi otak mencapai 65%
Dari seluruh tubuh

Perubahan keseimbangan membram neuron

Perubahan difusi ion K+ dan Na+

Pelepasan mutan listrik neuron otak

Pelepasan semakin meluas ke seluruh sel maupun membran dengan bantuan neurotransmiter

Kejang

Sumber : Ilmu Kesehatan Anak, FKUI



Manifestasi Klinik
Ciri-ciri kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
Kejang bersifat umum
Lamanya kejang bersifat singkat (kurang dari 15 menit)
Usia waktu kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun
Frekuensi serangan 1-4 kali dalam 1 tahun
EEG normal
Kejang demam yang tidak sesuai dengan ciri tersebut di atas disebut epilepsi yang dicetuskan oleh demam. (Livingstone)
Penatalaksanaan
Ada 4 hal yang perlu dikerjakan dalam perawatan dan pengobatan kejang demam yaitu:
Pengobatan fase akut
Pada kejang demam sederhana, biasanya kejang berlangsung singkat dan akan berhenti sendiri pada waktu penderita kejang, buka semua pakaian yang ketat. Untuk mencegah aspirasi, penderita dimiringkan dengan posisi kepala lebih rendah. Sangat penting agar jalan nafas bebas dan oksigenasi terjamin. Awasi tanda-tanda vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung. Untuk menurunkan suhu yang tinggi, penderita dapat dikompres.
Dianjurkan pemberian antipiretik parasetamol 10 mg/kgBB/hari.
Pengobatan profilaksis terhadap terulangnya kejang demam
Pencegahan terhadap terulangnya kejang demam sangat perlu oleh karena kejang berulang dan lama dapat menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 3 cara pengobatan profilaksis, yaitu:
a. Profilaksis intermiten pada waktu demam
Profilaksis intermiten diberikan pada waktu penderita sedang demam, dapat diberikan oleh orang tua penderita atau pengasuh anak tersebut. Obat anti kejang yang diberikan tersebut pada saat penderita kejang adalah diazepam 5 mg untuk penderita umur 3 tahun dan 7,5 mg untuk penderita berumur di atas 3 tahun secara suppositoria tiap jam.(Soetomenggolo, 1989; Hassan & Alatas, 1985; Haslam, 1996). Bila diberikan per oral dosis 0,5 mg/kgBB pada waktu kejang (Goodrige, 1987; Hassan & Alatas, 1985,; Haslam , 1996).
b. Profilaksis terus-menerus dengan anti konvulsan tiap hari
Untuk profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan dapat digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari, namun diperhatikan efek samping dari fenobarbital berupa timbul kelainan watak, yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif. Untuk menurunkan efek samping yang mungkin timbul, dosis fenobarbital dapat diturunkan. Obat lain yang sekarang mulai banyak dipakai dengan efek lebih baik dan efek samping yang minimal adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari.(Soetomenggolo, 1995)
c. Pencegahan kejang lama dengan pemberian antikonvulsan pada
waktu kejang (Goodrige, 1987 ;Soetomenggolo, 1989)
Penanganan penderita dengan kejang lama yaitu dengan pemberian fenitoin/difenilhidantoin loading dose dengan dosis 10-15 mg/kgBB/ hari ditunggu 2-4 jam, bila masih kejang penderita dirawat di ICU dan diberikan anestesi umum. Bila kejang berhenti, maka diberikan dosis rumatan fenitoin dengan dosis 5-8 mg/kgBB/hari atau fenobarbital dengan dosis 5-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis (Sunartini, 1991; Ongkie,1980)
Mempertahankan dan menunjang kehidupan
Pengobatan tambahan dan tindakan lain ditujukan untuk mengatasi keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan kejang bertambah hebat atau berlangsung lama seperti halnya hiperpireksia, oedema serebri dan hipoglikemia.
Pendidikan kepada orang tua perlu diberikan agar orangtua memberikan pertolongan yang sebaik-baiknya bila anak kejang. Perlu disarankan kepada orang tua agar segera membawa anak ke rumah sakit bila anak kejang pertama kali, umur anak 18 bulan atau kurang, kejang berlangsung lebih dari 15 menit (Goodrige, 1987)
Mencari dan mengobati penyebab kejang
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada penderita kejang demam yang pertama. Pada bayi sering gejala meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan, yaitu EEG, USG, kultur dan elektrolit darah serta CT-scan otak. (Soetomenggolo, 1995)
KOMPLIKASI
Kejang demam yang lama menyebabkan kebutuhan O2 meningkat, metabolisme otak naik, terjadi kejang. Akhirnya spasme saluran nafas sesak, apnea, hipoksia dan asidosis metabolik. Dengan metabolisme anaerob terjadi asidosis laktat. Hipoksia menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat, terjadi oedema, kerusakan sel otak dan sistem syaraf terganggu seperti hemiparesis, epilepsi dan gangguan mental organik.(Hasan & Alatas 1985)

PROGNOSIS
Kejang demam sederhana mempunyai prognosis yang baik, hanya 1-10% berkembang menjadi epilepsi. Pada kejang demam sederhana tidak didapatkan gangguan intelektual dan belajar maupun kelainan fisik neurologik.(Nawawi, 1996)















III. POHON MASALAH

IV. MASALAH YANG LAZIM MUNCUL PADA KLIEN
Resiko Injury
Faktor resiko:
Eksternal:
- Mode transport atau cara perpindahan
- Manusia atau penyedia pelayanan kesehatan (ex: agen nosokomial)
- Pola kepegawaian: kognitif, afektif, dan faktor psikomotor
- Fisik (ex: rancangan struktur dan arahan masyarakat, bangunan dan atau perlengkapan)
- Nutrisi (ex: vitamin dan tipe makanan)
- Biologikal (ex: tingkat imunisasi dalam masyarakat, mikroorganisme)
- Kimia (polutan, racun, obat, agen farmasi, alkohol, kafein , nikotin, bahan pengawet, kosmetik, celupan/ zat warna kain)
Internal:
- Psikologik (orientasi afektif)
- Malnutrisi
- Bentuk darah abnormal (ex: leukositosis/ leukopenia, perubahan faktor pembekuan, trombositopeni, sickle cell, talasemia, penurunan Hb, imun-autoimun tidak berfungsi)
- Biokimia, fungsi regulasi (ex: tidak berfungsinya sensoris)
- Disfungsi gangguan
- Disfungsi efektor
- Hipoksia jaringan
- Perkembangan usia (fisiologik, psikososial)
- Fisik (ex: kerusakan kulit/ tidak utuh, berhubungan dengan mobilitas)
Kurang Pengetahuan
o Ditandai dengan: memverbalisasikan adanya masalah, ketidak-akuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.
o Faktor yang berhubungan: keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
Hipertermia
- Ditandai dengan: kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal, serangan atau konvulsi (kejang), kulit kemerahan, pertambahan RR, takikardi, saat disentuh tangan terasa hangat.
- Faktor yang berhubungan : penyakit atau trauma,peningkatan metabolisme, Aktifitas yang pengaruh medikasi / anestesi, ketidakmampuan / penurunan kemampuan untuk berkeringat, terpapar lingkungan panas, dehidrasi, pakaian yang tidak tepat
Cemas
Faktor yang berhubungan : terpapar racun, konflik yang tidak disadari tentang nilai-nilai utama/ tujuan hidup, berhubungan dengan keturunan/ herediter, kebutuhan tidak terpenuhi, transmisi interpersonal, krisis situasional/ maturasional, ancaman kematian, ancaman terhadap konsep diri, stress, substans abuse, perubahan dalam: status peran, status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, lingkungan status ekonomi.
Resiko Infeksi
Faktor-faktor resiko:
Prosedur invasif, ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen, trauma , kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan, ruptur membran amnion, agen farmasi (imunosupresan), malnutrisi, peningkatan paparan lingkungan patogen, imunosupresi., ketidak adekuatan imun buatan, tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, leukopeni, penekanan respon inflamasi), tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik), penyakit kronik.


Sindrom defisit perawatan diri
Ditandai dengan : ketidakmampuan untuk mandi, ketidakmampuan untuk berpakaian, ketidakmampuan untuk makan, ketidakmampuan untuk toileting.
Faktor yang berhubungan: kelemahan, kerusakan kognitif atau perceptual, kerusakan neuromuskular /otot-otot syaraf.
Perfusi jaringan (serebral) tidak efektif
Batasan karakteristik
Serebral: - abnormalitas bicara
- kelemahan ekstremitas atau paralis
- perubahan status mental
- perubahan pada respon motorik
- perubahan reaksi pupil
- kesulitan untuk menelan
- perubahan kebiasaan
Faktor-faktor yang berhubungan:
Hipovolemia, hipervolemia, aliran arteri terputus, exchange problems, aliran vena terputus, hipoventilasi, reduksi mekanik pada vena dan atau aliran darah arteri, kerusakan transport oksigen melalui alveolar dan atau membran kapiler, tidak sebanding antara ventilasi dengan aliran darah, keracunan enzim, perubahan afinitas/ ikatan O2 dengan Hb, penurunan konsentrasi Hb dalam darah.

PEMBAHASAN

Setelah dilakukan studi kasus dengan pendekatan proses keperawatan selama tiga hari mulai tanggal 10 agustus 2006 sampai dengan tanggal 12 agustus 2006 didapatkan hasil pengkajian sampai evaluasi. Tujuan dari pembahasan kasus di sini adalah mengupas kembali antara teori yang ada dalam proses keperawatan dan dokumentasi dengan respon yang muncul sesuai dengan kondisi pasien. Pada pembahasan kasus ini, penulis menunjukkan masalah-masalah yang berhubungan dengan kesenjangan dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Asuhan keperawatan Pada Pasien An “I” Dengan Gangguan Neurologis : Kejang Demam Sederhana di Bangsal Anggrek RSUD Kota Yogyakarta. Pembahasan untuk tiap-tiap tahap proses keperawatan adalah sebagai berikut :
A. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian, penulis mendapatkan data dari pasien, keluarga pasien, tim kesehatan lain dan status kesehatan pasien. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara wawancara, pemeriksaan fisik, observasi dan studi dokumentasi.
Dari hasil pengkajian pada kasus, didapatkan adanya kesenjangan dengan teori, ada data pada teori yang tidak ditemukan pada kasus dan ada data pada kasus yang tidak ada pada teori.
Data pada teori yang ditemukan pada kasus
Demam
Kejang
Data yang tidak ada pada teori tapi ada pada kasus
Terpasang infus RL 10 tetes/menit
Infus terpasang untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit karena pada pasien yang terjadi hipertermi, evaporasi akan meningkat. Setiap kenaikan suhu tubuh 1º C akan meningkatkan kebutuhan cairan 10% dari kebutuhan cairan tubuh.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat dan pasti tentang masalah pasien serta penyebabnya, baik aktual maupun potensial yang dapat dipecahkan melalui tindakan keperawatan.
Berdasarkan pengkajian pada pasien didapatkan beberapa diagnosa keperawatan. Ada diagnosa keperawatan yang sesuai dengan teori dan ada diagnosa keperawatan yang tidak sesuai dengan teori.
Berdasarkan teori ada 7 diagnosa yang lazim muncul pada pasien kejang demam sederhana. Setelah dilakukan analisa data pada kasus ditemukan 3 diagnosa keperawatan. Semua diagnosa keperawatan yang muncul sudah sesuai dengan teori.
Diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kasus dan teori.
a. PK : kerusakan perfusi jaringan serebral; resiko kejang berulang; hipertermi
b. Resiko infeksi; faktor resiko : prosedur invasif, tidak adekuat pertahanan sekunder tubuh.
c. Kurang penetahuan (keluarga) tentang penyakit dan penanganannya berhubungan dengan kurang informasi.
Diagnosa keperawatan yang ada dalam teori tetapi tidak muncul dalam kasus.
d. Resiko injury
Diagnosa ini tidak muncul pada pasien karena tidak ditemukan data yang mendukung. Pasien tidak pernah mengalami kejang berulang selama perawatan di rumah sakit.
e. Hipertermi
Diagnosa ini tidak ditegakkan karena hipertermi sudah merupakan suatu data.Jika diagnosa hipertermi diangkat maka intervensinya akan tumpang tindih dengan diagnosa kerusakan perfusi jaringan serebral.
f. Cemas
Diagnosa ini tidak diangkat karena tidak ada data yang cukup menunjang, disamping itu sudah dimunculkan diagnosa kurang pengetahuan. Biasanya keluarga akan merasa cemas jika kurang pengetahuannya, dengan diatasinya kurng pengetahuan diharapkan keluarga tidak akan merasa cemas. Jika diangkat dua-duanya, maka implementasi yang dilakukan akan tumpang tindih.
g. Sindrom defisit perawatan diri
Diagnosa ini tidak ditegakkan karena pada dasarnya setiap bayi/anak pasti belum bisa melakukan semua ADL-nya sendiri. Perawatan diri pasien tergantung bagaimana peran orang tua dan tingkat pengetahuan orang tua untuk menjaga dan merawat kebersihan anaknya. Pada kasus, keluarga sangat menjaga kebersihan pasien saat sakit. Sehingga pasien terjaga perawatan dirinya,jadi tidak perlu diangkat diagnosa sindrom defisit perawatan diri lagi karena tidak ada data yang menunjang.
C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul, penentuan masalah disesuaikan dengan prioritas masalah yang harus diatasi terlebih dahulu, paling mendesak, paling mengancam dan disesuaikan dengan kebutuhan dasar menurut Maslow.
Kriteria rumusan tujuan keperawatan harus SMART (Spesific, Measurable, Achivable, Realistic, Time Limited). Dalam penyusunan rencana tindakan keperawatan dari masing-masing diagnosa keperawatan yang muncul disesuaikan dengan teori.
Dalam perencanaan ini, ada kriteria waktu, hasil dan intervensi. Penjelasan berikut ini digunakan untuk mengetahui perkembangan pasien terhadap penyakit.
Penulis dalam menyusun laporan ini menggunakan kriteria waktu dan intervensi, seperti :
PK : kerusakan perfusi jaringan serebral ;resiko terjadinya kejang berulang; hipertermi.
Pada perencanaan tujuan, penulis menggunakan kriteria waktu 7 hari karena diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama jangka waktu tersebut PK : kerusakan jaringan serebral tidak terjadi, bila masalah belum teratasi selama waktu yang diperkirakan akan dapat memperberat kondisi pasien, dengan kriteria hasil : tidak terjadi kejang berulang, suhu dalam batas normal ( 36-37ºC ), nadi dalam batas normal ( 80-140X/mnt ), respirasi dalam batas normal (30 X/mnt ). Pada intervensi dititikberatkan untuk mengatasi hipertermi dan penanganan kejang terlebih dahulu, karena factor-faktor itulah yang menyebabkan PK : kerusakan perfusi jaringan serebral.
Dalam intervensi untuk menangani kejang berulang dan hipertermi menurut diagnosa keperawatan NANDA, terdapat 10 intervensi untuk pencegahan kejang dan 19 intervensi untuk penanganan demam dan 28 intervensi untuk kerusakan perfusi jaringan serbral.
Untuk intervensi yang lain yang tidak direncanakan pada kasus, yaitu :
Monitor suhu sesering mungkin, monitor adanya aritmia, pola nafas abnormal, suhu, warna, kelembaban kulit, sianosis perifer, adanya cushing triad : hal ini tidak direncanakan karena sudah ada intervensi yang hampir sama, bisa dilakukan pada saat memonitor vital sign.
Monitor tingkat kesadaran : hal ini tidak direncanakan karena bisa dilakukan sambil melakukan pengkajian pada pasien.
Selimuti pasien : hal ini tidak direncanakan karena pasien dengan hipertermi seharusnya diberi pakaian yang tipis untuk mempercepat evaporasi dan penurunan suhu tubuh.
Lakukan tapid sponge : hal ini tidak direncanakan karena dengan kompres efektif sudah cukup jadi tidak perlu dilakukan kompres seluruh tubuh lagi.
Monitor keabnormalan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa : hal ini tidak dilakukan karena tidak ada data untuk mengacu dilakukannya kolaborasi untuk itu.
Untuk semua intervensi perfusi jaringan serebral tidak direncanakan karena tidak sesuai dengan kondisi pasien dan cenderung untuk intervensi akibat peningkatan TIK sedangkan pada pasien mengarah kepada penurunan suplay O2 ke otak.
Resiko infeksi :faktor resiko ; tindakan infasif, tidak adekuatnya pertahanan sekunder tubuh.
Pada perencanaan tujuan, penulis membutuhkan waktu selama 3 hari. Karena berdasar proses fisiologis proses inflamasi baru bisa diketahui setelah waktu 3 hari, prosedur tetap untuk pemasangan infus juga 3 hari. Sebenarnya resiko infeksi dari pemasangan infus adalah selama infus masih terpasang. Kriteria resiko infeksi : suhu tubuh 36-37º C, tidak ada tanda-tanda infeksi (kolor, dolor, rubor, tumor, fungsiolesa )
Dalam intervensi menurut diagnosa keperawatan NANDA, terdapat 10 intervensi untuk kontrol infeksi dan 26 intervensi untuk perlindungan infeksi.
Untuk intervensi yang lain yang tidak direncanakan, yaitu :
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan, gunakan baju,sarung tangan pelindung, pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat : hal ini tidak direncanakan karena sudah merupakan prosedur tindakan di rumah sakit.
Batasi pengunjung, saring pengujung terhadap penyakit menular : intervensi ini hanya untuk mencegah infeksi nosokomial pengunjung.
Instruksikan pengunjung untuk cuci tangan, yakinkan keamanan dengan hiperklorinasi : hal ini tidak direncanakan karena disesuaikan dengan sarana dan prasarana rumah sakit.
Monitor hitung granulosit, WBC, ambil kultur : hal ini tidak direncanakan karena disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan keadaan pasien.
Gunakan kateter intermiten, berikan perawatan pada daerah epidema, inspeksi kondisi luka, insisi bedah, monitor perubahan tingkat energi, dorong mobilitas dan latihan, batuk dan nafas dalam : hal ini tidak dilaksanakan karena tidak sesuai dengan pasien,intervensi ini sesuai untuk resiko infeksi pasca bedah.
Pertahankan teknik isolasi, Beri ruangan pribadi : Pasien tidak perlu diisolasi karena penyakitnya tidak menular.
Batasi buah segar, sayuran mentah, tanaman dan bunga : untuk pasien alergi agen infeksi.
Kurang pengetahuan keluarga tentang penyakit dan penanganannya b/d kurang informasi
Pada perencanaan tujuan penulis membutuhkan waktu 4 kali pertemuan, karena diharapkan orang tua memahami dan menerima keadaan anaknya, pengetahuan bertambah dan dapat menghilangkan cemas.
Dalam intervensi menurut diagnosa keperawatan NANDA, terdapat 14 intervensi untuk mengajarkan proses penyakit.
Untuk intervensi yang lain tidak dilaksanakan, karena :
Jelaskan patofisiologi penyakit, proses kemungkinan penyebab, berikan informasi kemajuan pasien pada keluarga, diskusikan perubahan gaya hidup, pilihan terapi : hal ini tidak direncanakan karena sudah ada intervensi yang hamper sama dan bisa dilakukan dalam satu waktu pada saat SAP.
Hindari memberi harapan palsu : hal ni tidak direncanakan karena akan membuat keluarga tidak percaya dengan tim kesehatan.
D. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan tindakan yang dilaksanakan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan pasien. Dalam tahap pelaksanaan atau implementasi keperawatan, penulis mengacu pada rencana tindakan yang telah disusun sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Dalam pelaksanaan, selalu berpegang pada tiga prinsip yaitu : independent (pelaksanaan mandiri oleh perawat), dependent (pelaksanaan perawatan yang dilaksanakan tergantung dari tim kesehatan lain), interdependent (pelaksanaan perawatan yang dilaksanakan secara kerja sama dengan tim lain).
Dalam implementasi keperawatan, penulis melaksanakan sesuai dengan rencana yang dibuat sesuai dengan kondisi pasien. Tapi ada perencanaan dalam diagnosa yang tidak bisa penulis lakukan, yaitu :
Pada diagnosa PK : kerusakan perfusi jaringan serebral ;resiko terjadinya kejang kembali ; hipertermi.
Hitung granulosit, WBC tidak dilakukan karena merupakan tindakan kolaborasi.Jadi penulis tidak bisa memonitor jumlah AL apakah dengan sudah diberikan terapi nilai AL sudah turun dalam batas normal atau masih tetap tinggi. Pemeriksaan AL harus dengan pemeriksaan laboratorium, dipertimbangkan juga keadaan ekonomi pasien jika akan dilakukan pemeriksaan AL secara rutin.
Pada diagnosa Resiko infeksi : faktor resiko ; tindakan invasif,tidak adekuat pertahanan sekunder tubuh.
Implementasi pemberian antibiotik dan hitung WBC juga tidak dilakukan karena dalam intervensi pada diagnosa PK : kerusakan perfusi jaringan serebral pemberian obat antibiotik dan hitung WBC sudah ada. Jika pada implementasi resiko infeksi juga dilaksanakan maka akan tumpang tindih. Karena intervensi tersebut lebih tepat untuk diagnosa pertama, maka tidak dilakukan kembali untuk diagnosa kedua.
Pada diagnosa kurang pengetahuan (keluarga) tentang penyakit dan penanganannya b/d kurang informasi.
Implementasi pada diagnosa ini pada dasarnya sudah sesuai dengan perencanaan yang dibuat.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap pengukuran keberhasilan rencana keperawatan dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Ada dua evaluasi yang penulis lakukan yaitu : evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dilakukan dalam setiap kali melakukan tindakan dan evaluasi hasil mengacu pada tujuan yang ditetapkan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan untuk melihat masalah tersebut teratasi, teratasi sebagian atau tidak teratasi.
Untuk menentukan tindakan dan mengatasi tingkat perkembangan selanjutnya penulis melakukan pengkajian dan mengevaluasi pelayanan perawatan yang telah diberikan, hal ini dapat dilihat pada catatan perkembangan.
Dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien An “i” ini, setelah dievaluasi sesuai kriteria waktu sampai penulis selesai praktek, ada dua diagnosa yang sudah tercapai dan satu diagnosa tercapai sebagian. Evaluasi hasil tersebut adalah sebagai berikut :

Diagnosa keperawatan yang dapat teratasi
Resiko infeksi; faktor resiko: tindakan invasif, tidak adekuatnya pertahanan sekunder tubuh.
Kriteria dari tujuan ini tercapai karena pada evaluasi hasil didapatkan data: pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsiolesa), kebersihan lingkungan dan pasien terjaga hal ini dapat tercapai karena infus pasien sudah dilepas pada tanggal 10 Agustus 2006, keluarga pasien kooperatif dan aktif menjaga kebersihan pasien.
Kurang pengetahuan (keluarga) tentang penyakit dan penanganannya b/d kurang informasi.
Kriteria dari tujuan diagnosa ini tercapai karena pada evaluasi hasil didapatkan data : ekspresi wajah dan tingkat aktivitas menunjukkan tidak ada kecemasan, pengetahuan keluarga bertambah dan keluarga mampu menjelaskan materi yang telah dijelaskan untuk penanganan kejang dirumah. Hal ini dapat tercapai karena keluarga sangat kooperatif, selalu mengikuti anjuran-anjuran yang diberikan oleh perawat dan tim kesehatan serta tidak malu untuk bertanya jika tidak tahu.
Diagnosa keperawatan yang teratasi sebagian
PK : kerusakan perfusi jaringan serebral; resiko terjadinya kejang berulang; hipertermi.
Kriteria dari tujuan diagnosa ini tercapai sebagian karena pada evaluasi hasil didapatkan data; pasien tidak mengalami kejang lagi, vital sign pasien dalam batas normal S = 36,1oC, N = 124 x /mnt, R = 26 x/mnt tetapi tidak ada data pemeriksaan AL terbaru. Pemeriksaan AL ulang belum dilakukan karena menurut fisiologi umur leukosit darah antara 7 hari dan 4 hari diperedaran darah, jadi pemeriksaan AL selanjutnya dapat dilakukan 4 atau 5 hari setelah pemeriksaan pertama. Sehingga belum bisa diketahui data penunjang yang menyebutkan sudah tidak terjadi proses infeksi dari pemeriksaan laboratorium AL.

Diagnosa ini tercapai sebagian karena 2 hari suhu pasien sudah stabil, tetapi terapi antibiotik belum dihentikan karena dihawatirkan jika proses peradangan masih berlangsung suhu anak sewaktu-waktu bisa tinggi kembali. Jadi masih perlu observasi selama beberapa hari.
F. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan kumpulan informasi perawatan dan kesehatan pasien yang dilakukan perawat sebagai pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat terhadap pasien dalam melakukan asuhan keperawatan.
Dokumentasi yang penulis gunakan berorientasi pada masalah keperawatan secara ilmiah dan sistematis sesuai dengan langkah proses keperawatan. Pada kasus ini penulis mendokumentasikan secara lengkap dari pengkajian, rumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi sampai evaluasi keperawatan dengan mencantumkan jam, tanggal, tanda tangan dan nama terang. Dokumentasi ini untuk mencegah hilangnya informasi, menghindari tindakan berulang dan sebagai pertanggungjawaban serta pertanggunggugatan.
Pendokumentasian dilaksanakan selama proses keperawatan berlangsung pada pasien. Pendokumentasian keadaan pasien dilakukan perawat dan tim kesehatan lain sehingga dapat digunakan sebagai media komunikasi antar perawat dan antar perawat dengan tim kesehatan lainnya.



IMPLIKASI KEPERAWATAN

Pernyataan Tentang Peningkatan Mutu Asuhan Keperawatan
Peningkatan asuhan keperawatan sangat memerlukan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit. Hal ini dapat dibuktikandengan puas tidaknya pasien terhadap mutu pelayanan perawatan kepada pasien, keselamatan dan kesembuhan serta kemandirian pasien yang sangat dipengaruhi pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat.
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada pasien An”I” dengan diagnosa medis Kejang Demam Sederhana di Bangsal Anggrek RSUD kota Yogyakarta, penulis memperoleh pengalaman yang nyata mengenai proses keperawatan, yaitu :

Pengkajian
Pada dasarnya format pengkajian yang ada di bangsal Anggrek sudah meliputi aspek bio-psiko-sosial-spiritual. Pada kenyataannya format pengkajian tersebut sudah diisi lengkap walaupun kadang pengkajian yang dilakukan hanya mengacu pada masalah prioritas utama pasien.
Pada saat pengkajian dengan anak, perawat menggunakan pendekatan dengan cara mengajak bermain dan sering beriteraksi dengan anak. Karena anak-anak biasanya mengalami stranger anxiety atau takut dan tidak percaya dengan orang asing. Pengkajian dan pendekatan dengan orangtua disesuaikan dengan tingkat pendidikan orangtua. Sehingga apa yang kita sampaikan tidak disalahartikan.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang diangkat sudah dirumuskan secara lengkap, yakni meliputi masalah, penyebab dan data senjang, tetapi dalam status kesehatan pasien belum teetulis seluruh diagnosa yang ada. Hendaknya diagnosa yang muncul pada pasien ditulis, sehingga dapat digunakan acuan sebagai dasar penyusunan intervensi yang tepat untuk menangani masalah pasien.


Perencanaan
Perencanaan yang ditetapkan telah mencakup prioritas masalah, tujuan berdasarkan SMART (Spesifik, Measurable, Archievable, Reality, Time) dan yang realistis sesuai dengan keadaan pasien. Perencanaan tidak hanya merupakan suatu rutinitas yang dilakukan di bangsal.
Pada laporan kasus ini penulis menggunakan perencanaan berdasarkan diagnosa NANDA dengan acuan NIC-NOC.
Implementasi
Implementasi hendaknya dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan dan berdasarkan kebutuhan pasien. Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan sikap dan keramahan sangat mempengaruhi respon dari pasien. Kerjasama yang baik antara tim kesehatan menentukan kecepatan penyelesaian diagnosa keperawatan berdasarkan pada pengetahuan dan ketrampilan, hal ini akan mempercepat kesembuhan pasien. Sarana dan prasarana yang lengkap dapat menunjang kelancaran pemberian asuhan keperawatan.
Pada laporan kasus ini, penulis menemukan adanya implementasi yang tidak sesuai, yaitu pemasangan infus RL 30 tts/mnt mikro. Hal ini tidak bisa dilaksanakan karena pasien pembuluh darah venanya tidak bisa dipasang iv catheter. Sehingga perlu modifikasi implementasi yaitu obat antibiotik yang seharusnya diberiakn lewt infeksi IV (ampicillin 175 mg) dimodifikasi menjadi obat antibiotik oral yaitu sedrofen 120 mg. Sehingga pemenuhan kebutuhan pasien akan obat antibiotik tetap bisa dilaksanakan.

Evaluasi
Evaluasi yang dianjurkan sesuai teori yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil, dimana evaluasi proses dilakukan setelah tindakan keperawatan sedang evaluasi hasil mengacu pada tujuan. Evaluasi hasil sering tidak ditulis, sehingga perkembangan pasien tidak dapat diketahui secara pasti. Untuk itu evaluasi proses dan evaluasi hasil yang dibuat per-shift untuk digunakan sebagai sarana komunikasi tim medis yang lain.

Dokumentasi
Untuk lebih mengetahui perkembangan dan keadaan yang ada pada pasien sebaiknya pendokumentasian dilengkapi dari pengkajian sampai evaluasi yang mana hal ini juga dapat digunakan sebagai sarana komunikasi yang efektif bagi tim kesehatan yang ada. Dalam pendokumentasian biasanya perawat tidak lengkap, sehingga perkembangan pasien sulit diketahui. Pendokumentasian yang benar dan lengkap akan memudahkan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan secara berkesinambungan dan menetapkan tanggung jawab dan tanggung gugat.
Rekomendasi temuan Mahasiswa selam Melakukan Asuhan Keperawatan
Berdasarkan hasil laporan kasus yang ditulis penulis susun, maka penulis ingin memberikan saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan ke arah yang lebih baik.
Dalam upaya peningkatan mutu asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Kejang Demam Sederhana di Bangsal Anggrek RSUD kota Yogyakarta, diharapkan perawat atau tim medis dapat mempertahankan pemberian pendidikan keehatan yang jelas pada keluarga pasien, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan pendidikan keluarga, sehingga keluarga pasien dapat dilibatkan dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak. Pada saat melakukan pendekatan pada anak menggunakan pendekatan atraumatic care sehingga anak tidak akan merasa trauma dengan rumah sakit